PENGEMBARAAN SANGGA GIRI DAN SANGGA LAKSANA

PENGEMBARAAN SANGGA DAN GIRI
(Dua Pangeran Giri Menangkal Pandemi)
 
***
Oleh : Ki Damar Giri

Mimpi Sang Raja
 
Konon, di jagat imaginasi dikisahkan ada sebuah negeri, yang indah, subur dan makmur, bernama Girimaya yang terkenal sebagai Kerajaan aman sejahtera. Istana kerajaan terketak di suatu lembah, diantara dua aliran sungai berair jernih yang mengalir dari Timur ke Barat. Masing-masing Sungai berhulu dari Mata Air di kaki Gunung Murda yang keluar dari celah-celah batu dan akar-akar pepohonan besar. Kemudian mengalir menyusuri pemukiman sampai ahirnya bermuara disebuah Bengawan yang menjadi batas Negeri itu. Istana itu dikelilingi benteng seluas dua hingga empat hektoare. Ditepian bagian dalamnya ditata taman yang sangat asri.
Aneka pohon tumbuh subur di setiap sudut kawasan istana. 
Di luar benteng istana, diantara dua aliran sungai, menghampar pesawahan dan lahan pertanian. Sawah-sawah menghijau membentang luas, menjanjikan harapan bagi para petani untuk menghasilkan padi melimpah ruah. Setiap menjelang musim panen, terlihat hamparan sawah menguning, ditiup desiran angin, terlihat bagai gelombang lautan emas. Bunga-bunga beraneka warna dan semerbak harumnya menghiasi taman Negeri itu.

Negeri Girimaya dipimpin oleh seorang raja Adil, Bijaksana, Berwibawa dan sangat Sakti. Beliau bernama Prabu Girilaksana.
Kerajaan Girimaya memiliki bala tentara yang tangguh dengan kekuatan sekitar sepuluh ribu personil, didukung lebih seribu pasukan berkuda. Sehingga negeri lain enggan untuk mengganggu keamanan, lebih-lebih menaklukan Negeri ini.

Pada suatu pagi, Sang Raja Girimaya, Prabu Girilaksana mengisi harinya dengan menikmati langit pagi yang mulai memerah oleh sinar matahari terbit, memancarkan cahaya, menyelusup di antara pepohonan rindang dari punggung Gunung Murda.
Ia menghirup air kopi hangat dari biji kopi khas yang banyak tumbuh di Gunung Murda. Air kopi tersebut sengaja tersaji di sebuah meja taman, dibawah rimbunnya pohon Manggis yang tumbuh disudut taman sebelah barat, sehingga ketika Sang Raja duduk santai ditempat itu sekaligus dapat berjemur badan dibawah pancaran Matahari Pagi. 
Disisi kiri Pohon Manggis yang rindang dibuatkan Sangkar sebesar rumah mencakup tanaman perdu dan ranting-ranting didalamnya. Di dalam Sangkar itu hidup beraneka burung peliharaan yang berloncatan diranting sambil bernyanyi riang. Sang Prabu meresapi suara kicauan beraneka burung peliharanya. Burung-burung itu tampak seperti berusaha menghibur tuannya yang sangat menyayangi mereka sepenuh hati. Berpadu dengan cicitan burung liar, seperti Pipit, Gelatik, dan Kutilang membentuk alunan orkesta alami yang indah. Di iringi dengkuran perkutut bersahutan yang bertengger diatas dahan akasia yang tumbuh di sebelah Selatan Taman.

Setelah puas mendengarkan kicauan burung sebagai orkestra alam pengantar kebugaran, Sang Prabu pergi berjalan-jalan ke taman bunga. Ia memandangi bunga-bunga aneka warna yang menyejukan hatinya dan menebarkan sejuta aroma. Sementara itu, kumbang dan kupu-kupu bertebaran mengelilingi taman menemani Sang Prabu yang berbahagia. Demikianlah rutinitas yang dilakukan Prabu Girilaksana setiap pagi sebelum menjalankan aktivitas sebagai seorang raja.  

Sang raja memiliki seorang istri yang cantik bernama Ratna Kirana sebagai Permaisuri dan dua orang putra yang bernama Sangga dan Giri. Raden Sangga adalah anak sulung dan Raden Giri adalah adiknya. Kedua orang kakak-beradik itu memiliki wajah, sama-sama  tampan dan kesaktian sama-sama tinggi. Mareka mahir berkuda dan memainkan pedang dan tumbak. Tapi tetap bertutur kata santun dan lemah lembut. Mereka bagai Dua Satria Paripurna kebanggaan Raja Girlaksana dan seluruh rakyat Negeri Girimaya.

Prabu Girilaksana sangat menyayangi kedua anaknya itu. Begitu pula sebaliknya, kedua anak itu berbakti pada orang tua dan sangat menyayanginya, sehingga prilaku mereka sedemikian rupa diupayakan untuk tidak mengecewakan hati Sang Ayah. Malah Raden Sangga dan Raden Giri berani berkorban apapun demi ayahandanya, sekalipun harus bertaruh nyawa demi keselamatan ayahnya.

Pada suatu pagi, sang raja tidak berlaku sebagaimana biasa. Beliau tidak kedapatan di taman serta menikmati hangatnya air kopi. Ia tidak beranjak dari tempat tidurnya, apalagi untuk berjalan-jalan di taman. Ia mengurung diri di kamar namun pandangan matanya menerawang jauh keatas awan lewat jendela terbuka. Sepertinya hati Sang Raja sedang gundah. Seperti ada sesuatu yang menjadi beban berat dalam pikirannya.

Sang Istri, Ratna Kirana, begitu mengetahui suaminya mengurung diri di kamar, Ia menjadi gelisah. Ia cemas jika suaminya jatuh sakit. Ia pun bergegas menghampiri suami di kamar. 

“Kakanda,” sapa permaisuri kepada suaminya. “Kenapa pagi ini Kakanda hanya mengurung diri di kamar? Bukankah biasanya tiap pagi pergi berjalan-jalan mengitari taman bunga atau duduk-duduk minum kopi sambil menikmati kicauan burung? Mengapa pagi ini Kakanda hanya berdiam diri?” tegas permaisuri. 

Prabu Girilaksana hanya diam saja mendengar sapaan sang istri tercinta. Ratna Kirana makin gelisah melihat keadaan suaminya seperti itu. 

Kemudian, sang permaisuri bertanya kembali. “Apakah Kakanda sakit?” Sang raja hanya menggelengkan kepala dan tatapannya seperti tenggelam dalam lamunan.

“Lalu, mengapa Kakanda berdiam diri seperti ini?” tanya permaisuri. “Apakah yang Kakanda pikirkan?” permaisuri mulai resah.

“Semalam aku bermimpi buruk,” jawab sang raja, berkata sambil berjalan bolak balik dari ujung dinding kamar ke dinding lainnya

“Mimpi apa gerangan itu, Kakanda?” 

Aku bermimpi didatangi seorang kakek tua, berambut putih dan berjenggot, mirip Rama Prabu Murdagiri. Beliau mengatakan bahwa rakyatku akan mengalami wabah penyakit ganas, sehingga akan banyak yang meninggal dunia,” katanya. 

Dengan rasa sedih, sang raja melanjutkan cerita mimpinya kepada Ratna Kirana. “Dalam mimpi itu, aku diperintahkan untuk mencari sebuah Pundi yang berisi air ramuan dari sari seribu jenis bunga langka. Ramuan itu nantinya akan dapat menyembuhkan wabah penyakit yang melanda rakyatku.” Sang raja tertegun sambil memikirkan mimpi semalam.

Ah, itu kan hanya mimpi,” kata permaisuri.
“Jangan terlalu kau risaukan, Kakandaku,” rayu sang permaisuri untuk menenangkan hati sang suami.

“Ya,“ kata Sang Prabu dengan suara yang makin lemah. “Tapi mimpi itu selalu membayangiku. Seolah-olah aku harus mencari dan mendapatkan Pundi itu. Sepertinya aku pernah mengenal jenis pundi itu. Aku jadi teringat masa kecil, pernah bertarung seru dengan adiku Giripertiwi memperebutkan pundi yang hadir dalam mimpiku itu"

Semenjak kejadian mimpi itu, kehidupan sang raja menjadi risau dan resah. Tidak lagi berjalan-jalan di taman, mendengar kicauan burung dan mencium aroma bunga. Setiap hari yang dipikirkannya hanya mimpi, sehingga Sang Prabu menjadi sulit makan dan sulit tidur. Keadaan ini membuat permaisuri makin cemas.
 
Pada suatu ketika, Sang Prabu mendengar berita dari pengawalnya bahwa ada beberapa penduduk yang tiba-tiba mengalami sakit dan meninggal dunia. Banyak Rakyat menderita penyakit dengan gejala deman disertai suhu tinggi di sore hari, batuk-batuk dan sesak napas di malam hari, namun pagi harinya sudah lemah, lantas sekarat dan terus mati. Berita itu sangat mengejutkan. Ia teringat akan mimpinya itu. Prabu Girilaksana makin resah disertai detak jantungnya sangat cepat dan akhinya beliaupun jatuh pingsan. 

“Kakanda, Kakanda!” seru permaisuri, berusaha menyadarkan suaminya. Namun. Sang Prabu tetap tak bergerak sedikit pun. Akhirnya, permaisuri sadar bahwa suaminya telah pingsan. Ia pun menangis terisak-isak.

Mendengar permaisuri menangis, dayang-dayang istana berhamburan menuju kamar Sang Raja. Di situ mereka melihat raja yang mereka cintai jatuh pingsan. Mereka segera memercikkan air mawar ke wajah Prabu Girilaksana. Akan tetapi, beliau tidak juga siuman. Permaisuri makin panik dan tangisnya makin menjadi-jadi, jeritannya memilukan hati. 

Tidak lama kemudian para pengagung kerajaan datang untuk melihat kondisi sang raja.
“Baginda mimpi aneh,” permaisuri membuka pembicaraan. “Baginda bermimpi rakyatnya akan terkena penyakit yang mematikan dan untuk mencegahnya, harus ditemukan pundi yang berisi ramuan,” sang permaisuri melanjutkan ceritanya. “Barusan baginda mendengar bahwa ada beberapa penduduk yang mati mendadak tergejala penyakit. Baginda shock dan langsung pingsan.”

Berita tentang wabah penyakit yang menyebabkan beberapa penduduk mati mendadak, ahirnya juga menjadi kecemasan para pejabat kerajaan. Kemudian Sang Patih mengadakan Sidang lengkap dan akhirnya memutuskan untuk mengerahkan segala daya dan cara untuk memulihkan kesehatan Prabu Girilaksana dan mencegah virus makin menyebar.
“Kita panggil segera tabib-tabib terbaik yang ada di kerajaan ini untuk menyembuhkan Sang Raja", kata seorang Mentri Kesehatan.

"Kami juga akan mengerahkan pasukan ke seluruh pelosok negeri untuk mencari Pundi yang dimaksud dalam mimpi baginda raja", ujar Panglima Perang.

" Aku perintahkan kepada para adipati dan penguasa wilayah bawahan, untuk mengunci kegiatan masyarakat agar tidak berkeliaran. Semua harus tinggal di rumah", sabda Sang Patih.

"Sampun baginda Patih, kalau kegiatan masyarakat dikunci, berarti mereka tidak bisa mencari nafkah. Harus bagaimana mereka makan?, usul salah seorang Adipati.

"Gampang!, Seluruh Isi Lumbung kepunyaan para akuwu, adipati dan para pengagung kerajaan dibagikan untuk makan rakyat, sekarang waktunya kita memperhatikan nasib mereka, setelah sekian lama kita minta bagian hasil panen untuk makan kita dan keluarga"

Kemudian, disebarlah bala tentara keseluruh pelosok kerajaan untuk menemukan pundi yang dimaksud dalam mimpi sang raja. Sementara itu, tabib-tabib terbaik kerajaan didatangkan untuk menyembuhkan Sang Raja, namun, beberapa tabib tidak sangggup menyembuhkan wabah tersebut, tanpa obat yang disebut sebagai ramuan bertuah yang muncul dalam mimpi Sang Raja.

Prabu Girilaksana baru sadarkan diri setelah pingsan tujuh hari tujuh malam. Selama itu pula Sang Raja tidak makan dan minum, kecuali bisa tertolong karena Sang Tabib terus-terusan mencelupkan kapas ke dalam air kelapa, dan terus-terusan membasahi bibir sang raja. Disamping itu, Sang Permaisuri, kerap mengolesi madu.

Setelah sadar dari pingsannya, Prabu Girilaksana, sering tampak murung. Gairah hidupnya tampak surut. Keadaan tersebut, berakibat pada Permaisuri dan kedua anaknya juga ikut bersedih melihat keadaan ayahandanya.
 
Selepas dari sakit, Prabu Girilaksana mengundang para menteri untuk mengadakan pertemuan. Meskipun hati Sang Raja masih diselimuti kegundahan dan keadaan badannya masih lemah, tapi untuk menghadiri acara resmi kenegaraan, sedemikian rupa tampil agar kelihatan tegar. 

Para mentri dan pengagung serta kedua anaknya berikut sang permaisuri menghadiri pertemuan tersebut.  

Sang raja menceritakan apa yang telah beliau alami. “Kalian tentu sudah mendengar tentang keadaanku beberapa waktu yang lalu. Aku mengalami mimpi buruk, dimana sebagian besar rakyatku meninggal dunia karena suatu penyakit. Di dalam mimpiku itu pula, diberikan petanda agar aku mencari Pundi yang berisi ramuan ajaib untuk menghalau terjadinya wabah penyakit yang lebih luas lagi. Aku juga mendengar bahwa beberapa penduduk banyak yang meninggal dunia saat ini,” demikian sang raja bercerita dalam keadaan yang masih lemas. 

Ia kemudian  bertanya kepada Mahapatihnya mengenai perkembangan selama dirinya sakit.

“Bagaimana keadaan negeriku saat ini, Paman Patih?” tanya Sang Raja.

“Ampun, Baginda,” kata Sang Patih.  “Hamba telah melakukan penyelidikan tentang beberapa penduduk yang mati mendadak. Namun, sampai saat ini baru diketahui bahwa penyakit itu datang dari negeri seberang lautan dan belum ditemukan obat penyembuhnya. Kalau saja baginda memimpikan suatu ramuan, maka hal itu merupakan satu-satu obat yang harus kami temukan. Selama ini kami telah mengerahkan seluruh pasukan untuk mencari kesetiap pelosok, tapi belum membawa hasil".

Mendengar cerita tersebut Prabu Girilaksana semakin bersedih. Kemudian beliau bersabda:

“Baiklah kalau begitu, aku yang akan mencari sendiri pundi ajaib itu!”. “Benda itu harus ditemukan agar rakyatku kembali sehat dan terhindar dari marabahaya,”tegasnya.

Mendengar keinginan Baginda untuk mencari sendiri pundi ajaib itu, seluruh peserta rapat di ruang pertemuan tersentak kaget, karena justru Sang Raja masih sakit dan masih lemah.  

“Ayahanda, hamba tidak setuju jika ayahanda mencari  sendiri pundi tersebut, bukankah kesehatan ayahanda saat ini kurang baik?". Buat apa ayahanda mempunyai dua putra sebagai kesatria yang ditakuti lawan, tapi sekadar sebuah pundi saja membebankan orang tua?", sahut Raden Sangga. 

"Jika Ayah berkenan, biarkan kami berdua yang akan mencari pundi tersebut,” tegas Raden Giri yang merasa iba melihat kondisi sang ayah.

"Biarkanlah kami pergi Rama Prabu. Kami harus Pergi. Apapun yang terjadi kami harus mencari. Kami harus mencari pundi itu dan tidak ada orang yang bisa menghalangi kami" teriak Raden Giri.

Prabu Girilaksana merasa terharu melihat keinginan yang keras dari anaknya, untuk menggantikan dirinya menemukan pundi ajaib itu. 
“Anakku berdua, aku terharu mendengar keinginan kalian untuk membantu ayah, namun itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Kalian masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman untuk melakukan perjalanan yang jauh, setahu ayah, malah kalian belum pernah keluar dari benteng istana.”

“Tapi, Ayahanda,” kata Raden Sangga, "Kami berdua akan mencari dan menemukan Pundi ajaib itu. Kami akan berusaha sekuat tenaga. Berilah kesempatan pada generasi muda untuk berbakti pada negara, Bagi kami akan menjadi pengalaman yang pertama, Ayahanda,” pinta Raden Sangga.

“Apakah kalian yakin dengan keputusan kalian? Hidup dalam pengembaraan itu tidak senyaman hidup di istana, Anakku,” seru Sang Ayah. 

“Selama ini kalian tidak pernah pergi ke mana-mana. Bahkan kalian berdua tidak pernah keluar benteng istana sekalipun. Coba kalian pikirkan baik-baik!”, 

“Ya, Ayah, kami sudah memikirkan hal ini masak-masak. Sekali lagi berilah kesempatan kami sebagai generasi muda untuk membela negara. Mungkin inilah cara kami untuk mengabdi pada kerajaan ini,” jawab Raden Sangga.

Melihat keinginan anaknya yang besar, hati sang ayah menjadi luluh juga. Maka, beliau mengizinkan kedua anaknya untuk mencari benda ajaib itu.

“Baiklah kalau begitu, ayah izinkan kalian untuk mencari benda ajaib tersebut. Jaga diri kalian baik-baik dan selalu berdoa memohon pelindungan dari Yang Maha Kuasa,” kata Prabu Girilaksana dengan mata berkaca-kaca.

Semua yang hadir dalam pertemuan tersebut menjadi terharu atas kesungguhan hati kedua anak Prabu Girilaksana. Mereka semua kagum dengan kedua anak muda yang tampan dan perkasa itu, yang bersedia membela keinginan ayahandanya.

“Mereka berdua bisa diandalkan dan tampaknya mewarisi wibawa dari ayahanda mereka,” kata salah seorang menteri.

Awal Pengembaraan Sang Pangeran

Detik-detik kepergian kedua putra Sang Prabu membuat suasana menjadi sangat haru. Ayah dan ibu mereka sebenarnya tidak rela melepaskan mereka pergi jauh untuk mencari benda ajaib tersebut. Namun, apa hendak dikata, keinginan sang anak terlalu kuat, untuk dipatahkan. Orang tua hanya bisa merestui dan mendoakan anak-anaknya agar diberikan keselamatan dan selalu dilindungi oleh Yang Maha Kuasa serta kembali dengan selamat.

Pada hari yang ditentukan di halaman istana tampak kesibukan yang luar biasa. Dua orang putra raja yang akan pergi mengembara untuk mencari pundi ajaib itu telah dipersiapkan. 

Prabu Girilaksana bersama permaisurinya tampak mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Berjubah Sutra kuning keemasan dengan daleman putih bersetrip merah. Para petinggi istana juga telah berkumpul di halaman istana, sementara di sekitar istana rakyat rama-ramai berkumpul untuk melepas dua putra raja yang akan berangkat mengembara.

Orang-orang yang berkerumun berdecak-decak kagum menyaksikan ketampanan dua orang putra raja itu, Raden Sangga dan Raden Giri. Banyak orang di antara kerumunan itu yang berusaha menyaksikan ketampanan dua putra mahkota raja dari dekat. Dua putra raja itu hanya tersenyum-senyum dan sesekali melambaikan tangan pada kerumunan itu. 

Raden Sangga dan Raden Giri menggunakan kuda-kuda terbaik untuk mendampinginya selama perjalanan. Kuda yang sangat kuat, tangguh dan tidak mengenal lelah, menerobos padang ilalang dan keluar masuk hutan lebat.

Selama empat puluh hari kuda-kuda tersebut setia membawa kedua putra Raja Girimaya. Bila malam tiba, barulah berhenti mengikuti kedua pangeran beristirahat. Dua putra raja itu tidur di cabang-cabang pohon yang besar atau di atas batu-batu yang besar. Kadang-kadang pula mereka itu tidur hanya beralaskan rumput. 

Sementara itu, di istana Negeri Girimaya, Ratna Kirana, Sang Ibu kedua Pangeran kerap merasa sulit tidur. Tiap malam tiba, biarpun rasa kantuk telah datang, biarpun matanya dipejamkan, tapi pikirannya menerawang jauh, menembus dinding-dinding kamar dan tembok istana. 

Ia membayangkan kedua putranya yang tengah mengembara untuk mencari pundi ajaib yang dimimpikan ayahandanya. Air matanya menitik jatuh memecahkan heningnya malam. Bila telah demikian, ia sering memeluk tubuh suami yang tidur di sampingnya, melepaskan rasa duka yang datang menindih hatinya. 

Prabu Girilaksana dengan tak bosan-bosan terus menghibur dan membesarkan hati istrinya. Namun, rasa takut kehilangan dua putra kesayangannya itu senantiasa datang membayangi terus Sang permaisuri. 

Pengembaraan di Taman Puspa Giri.

Pada hari keempat puluh tujuh, perjalanan Raden Sangga dan Raden Giri sampai di sebuah lembah Gunung Purwagiri. Lembah asri dilengkapi taman yang indah dengan beraneka warna bunga. Kedua orang kakak beradik itu sangat terpesona dengan keindahan yang ada di lembah Purwagiri itu, lalu mereka pun memutuskan untuk mendaki sebuah bukit yang lebih tinggi supaya bisa melepas pandangan lebih luas. Mereka berdecak kagum menyaksikan taman sangat mempesona.
Berkali-kali mereka mengusap matanya, seakan-akan tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat itu.

“Kak, bukankah kita tidak sedang bermimpi?" kata Raden Giri kepada kakaknya, 

“Ah, pertanyaanmu itu aneh-aneh saja!” kata Raden Sangga. “Ini nyata, Adikku. Ini surga dunia,” ucap lanjut Sang Kakak.

Tiba-tiba seekor burung Garuda hinggap disebuah dahan di hadapan mereka. 
“Jangan khawatir Raden, kalian tidak sedang tersesat". kata Garuda kepada kakak beradik itu.

Raden Sangga dan Raden Giri sangat terkejut, sama sekali tidak menduga, ada burung dapat berbicara seperti manusia. 

Belum hilang rasa heran dan kaget, tiba-tiba muncul pula seekor Menjangan berkata : “Selamat datang di Taman Puspa Giri,” kata Menjangan itu kepada keduanya. 

Raden Sangga dan Raden Giri makin bingung dan sedikit agak takut. Mereka terdiam dan hanya saling berpandangan satu sama lain. 
“Kalian ini siapa?!” Raden Sangga memberanikan diri bertanya kepada Menjangan itu. “Kau manusia atau jin?” lanjutnya.

“Kalian tidak punya mata, yah. Jelas-jelas kami ini Menjangan” jawab hewan berkaki empat itu meledek.
“Kalau Menjangan, mengapa kalian bisa bicara seperti manusia?” sambung Sangga.

“Memangnya hanya manusia saja yang dapat berbicara,” kata Menjangan kembali. “Kami juga dapat berbicara hanya kamu tidak ngerti", meledek kedua pemuda tersebut.

"Tapi.. nyatanya sekarang kami mengerti", jawab Raden Sangga

"Karena pikiran kalian sudah dipadukan dengan pikiran kami, apapun suara kami, pasti kalian mengerti", sahut Menjangan sambil meloncat ke kerimbunan dan menghilang.

Tinggallah mereka berdua dicekam sepi dengan diselimuti rasa heran atas kejadian yang baru saja mereka alami. Siapakah orang yang telah memadukan pikiran kami dengan pikiran hewan, kira-kiranya ya Kakanda?, tanya sang adik kepada kakanya.
" Yah, sudahlah adikku, yang jelas kita harus terima kenyataan bahwa kita mengerti bahasa hewan", hibur Sangga kepada Giri.

Sementara kedua Pangeran masih dalam keheranan, tiba-tiba angin kencang datang menghembus dan menghantam mereka. Tubuh Sangga dan Giri terguncang, nyaris terhempas angin. Keduanya gemetar ketakutan dan saling berpegangan kuat-kuat satu sama lain. 

Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan redanya angin kencang itu, muncullah seorang kakek-kakek dengan rambut dan janggut putih yang lebat. Sangga dan Giri terkesima sangat kaget. Mereka memandang tajam wajah Sang Kakek. Kakek itu nampaknya ramah dan bersahabat. Sikapnya seperti menunjukkan perlindungan dari berbagai ancaman seperti Induk Ayam terhadap anak-anaknya.

“Sembah Wahai Sang Tua, Maaf kami bertana, kira-kira dari manakah Kakek ini berasal?” tanya Sangga dengan santun.

Wahai, anak muda! Ini adalah tempatku, aku adalah Prabu Murdagiri, penguasa Gunung ini dan berkuasa di daerah ini. Semua makhluk di sini; manusia, hewan, dan tumbuhan tunduk kepadaku," jawab sang kakek. Dulu, aku berkuasa di Puncak Gunung itu, diatasnya ada Kerajaan bernama Giripurwa. Puncak dalam bahasa leluhurku adalah Murda dan Gunung disebut Giri, sehingga orang-orang memanggil nama rajanya dengan sebutan Murdagiri. Giripurwa sendiri artinya gunung purba atau gunung yang mengawali. Selain itu, nama Giri juga dipakai sebagai nama dinasti kami, mulai leluhur diatasnya sampai keturunan dibawahnya. Dari sinilah, dari Giripurwa yang mengawali dinasti Giri. Karena keturunan aku hanya mampu menelusuri puncak nasab sampai kepadaku, maka akulah yang dianggap oleh mereka sebagai murdanya keturunan Giri. Sekarang aku lebih senang diam di taman ini, yang aku namakan Taman Puspa Giri, karena ditaman ini tumbuh lebih seribu jenis bunga langka dan hanya bisa hidup di taman ini. Aku diam disini menyatu dengan seluruh unsur keindahan taman" demikian Sang Kakek bercerita panjang lebar.
“Ampun, paduka Prabu Murdagiri. Kami mohon maaf telah memasuki wilayah tuan  tanpa izin. Maafkanlah jika kedatangan kami mengganggu ketenangan Paduka,” jawab Sangga.

“Tidak apa!. justru aku merasa senang bertemu dengan kalian berdua" sahut Prabu Murdagiri sambil menatap tajam kening kedua pangeran. 

Prabu Murdagiri merasakan ada sinar yang terpancar dari kening kedua anak muda dihadapannya. Cahaya rona wajah yang sangat dipahami oleh beliau karena sebagai tanda keturunan beliau sendiri.  Beliau jadi teringat kepada putra sulungnya, Prabu Girilaksana yang hilang sejak masih kecil. "Jangan-jangan mereka ini.....", pikir Prabu Murdagiri.

"Dari manakah kalian berasal, wahai anak muda” tanya Prabu Murdagiri.

“Kami datang dari Kerajaan Girimaya,” kakak dan adik itu menjawab secara bersama-sama.

Penunggu Taman Puspa Giri itu tersentak kaget mendengar nama tempat yang disebutkan kedua anak muda itu. Menurut pemikiran Sang Kakek, besar kemungkinan pemberian nama tersebut keluar dari pemikiran seseorang masih keturunan Giri. Tapi mengapa memakai kata Maya?. Bukankah maya artinya tidak nyata?Ataukah penggagasnya ingin memberi pesan ada seorang Giri yang hilang dan ada di sana? Mungkinkah Girilaksana anak sulungnya yang hilang sejak kecil ada disana?", demikian berbagai pertanyaan yang berkecambuk dalam benak Sang Kakek. Sang kakek sudah menduga kalau dua orang pemuda ini berasal dari kalangan kerajaan. Malah beliau mampu melihat identitas kedua pemuda sedetil-detilnya. Sang Kakek menduga kuat mereka berdua adalah cucunya sendiri. Tinggalah kini Sang Kakek mengumpulkan bukti-bukti.

Ia pun mempertegasnya kembali. “Aku sudah tahu kalau kalian pasti bangsawan, melihat dari paras dan pakaian kalian itu. Malah aku tahu banyak tentang kalian.

Prabu Murdagiri memberikan senyum kepada mereka. Senyuman yang terlontar dari getaran jiwanya yang ia sendiri tidak sadari. Penuh rasa kasih sayang dan perlindungan layaknya seorang kakek kepada cucunya. Senyuman itu pun berbalas senyum dari kedua pemuda. Sunggingan bibir dan gemerlap dari susunan gigi yang rapih dan putih, yang khas senyuman seseorang yang selama ini dirindukan oleh Prabu Murdagiri. Ingatan jadi tergugah kepada anak sulungnya, Girilaksana yang raib tak diketahui hutan rimbanya. Lagi-lagi Prabu Murdagiri berkeyakinan penuh, kalau kedua pemuda yang ada dihadapannya adalah masih keturunannya sendiri. Namun beliau belum berani menanyakan siapa gerangan ayahanda kedua pemuda yang ganteng dan gagah ini?

“Kalau boleh tahu, gerangan apa yang membuat kalian sampai di puncak gunung ini?” tanya Sang Raja Giripurwa yang bertahta di Taman Puspa Giri itu. “Janganlah kalian ragu mengatakannya, mungkin saja, aku bisa membantu kalian.” tegas Prabu Murdagiri.

“Ampun, Paduka,” kata Raden Sangga. ”Kedatangan kami kesini mungkin merepotkan Paduka. Namun, kami berdua sungguh sangat mengharapkan bantuan Paduka. Mudah-mudahan dengan bantuan Paduka, kami dapat menemukan pundi ajaib yang kami cari selama ini.”, lanjut Sang Sangga berkata tidak beraturan saking cemas.

“Begini, Paduka,” sambung Sang Giri adiknya agak tenang: “Negeri kami sedang dilanda bencana, banyak penduduk yang meninggal dunia tanpa sebab. Kemudian, ayahanda kami bermimpi bahwa untuk menghalau bencana yang terjadi di negeri kami, harus menemukan Pundi ajaib yang berisi ramuan seribu bunga, untuk menyembuhkan wabah penyakit yang menyerang negeri kami. Oleh sebab itu, kami berusaha untuk mencari ramuan tersebut. Ayahanda kami sudah menerjunkan para prajurit untuk mencari Pundi tersebut, tetapi hasilnya nihil sehingga ayah kami menjadi sakit-sakitan karena memikirkan hal itu. Untuk itulah keberadaan kami di sini. Mencari Pundi ajaib itu. Kiranya tuan Prabu dapat membantu kami menemukan Pundi ajaib itu,” tutur Sang Giri.

Prabu Murdagiri hanya tersenyum tipis mendengar cerita Sang Giri. Beliau punya keyakinan bahwa anak sulungnya, Girlaksana ingin menuntun kedua anaknya sampai di Giripurwa untuk meminta pertolongan. Beliau sadar, dulu gara-gara berebutan Pundi itulah Girilaksana bertarung habis-habisan dengan Giripertiwi adiknya, dan gara-gara Pundi itu pula, Girilaksana pergi jauh. Beliau makin yakin saat itu sedang berhadapan dengan kedua cucunya, juga beliau menyadari bahwa ramuan yang tengah mereka cari itu berada di tangannya. 

Taman Puspa Giri adalah satu-satunya taman di jagat ini yang ditumbuhi beribu-ribu jenis bunga. Malah banyak bunga yang hanya bisa tumbuh di taman ini dan tidak bisa hidup di tempat lain. Prabu Murdagiri pernah menyuling sari bunga dari seribu jenis bunga. Cairan itu jumlahnya tidak begitu banyak, kemudian dimasukan pada sebuah Pundi Kecil. 
Pundi tersebut disimpan rahasia di putri bungsunya Giripertiwi. Giripertiwi sekarang bermukim di suatu Keratuan bernama Negeri Sawargi. Suatu tempat yang tidak bisa dijangkau oleh sembarang orang. Ramuan dalam pundi tersebut diyakini sebagai obat berbagai macam virus dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Disamping itu, ramuan seribu bunga dianggap sumber keabadian. Terbukti Giripertiwi masih kelihatan berparas muda belia setelah meminum sari cairan itu. 

Sebenarnya dulu pernah terjadi pertengkaran sengit kakak beradik untuk memperebutkan Pundi itu. Pertarungan antara dua bocah sakti. Girilaksana dan Giripertiwi bertarung habis-habisan tiada berkesudahan karena mempunyai kesaktian yang setara. Girilaksana dimarahi Sang Ayah karena dianggap tidak melindungi adiknya, kemudian Ia kabur ke suatu tempat yang tidak diketahui. Sementara itu, Giripertiwi malah menggunakan kesempatan meminum cairan dalam pundi sehingga bersisa sedikit. Sang Ayah sangat marah kepada putrinya. Kemudian menghukum buang kesuatu tempat di puncak gunung paling tinggi yang di kelilingi bukit berbatu yang tajam dan curam, sehingga sulit di lalui. Putri Giripertiwi dititipkan dalam pengawasan uwaknya, Prabu Persadagiri. Beliau adalah kakak kandung Prabu Murdagiri. Prabu Persadagiri adalah Raja Kerajaan Bhumi Persada, yang membawahi Negeri Sawargi. Putri Giripertiwi sudah dianggap anak angkat oleh Raja Bhumi Persada.
Sebelum meninggalkan Putri Giripertiwi di Negeri Sawargi, Prabu Murdagiri berpesan kepada Putrinya agar sisa ramuan tidak diminum lagi, karena akan berakibat sebaliknya, proses penuaan akan terjadi dengan cepat. "Simpanlah baik-baik sisa ramuan itu, anaku. Pada saatnya nanti akan ada keturunan kita yang datang membutuhkan pertolongan oleh ramuan ini, amanat Prabu Murdagiri kepada putrinya Giripertiwi.

Sekarang Prabu Murdagiri berhadapan dengan kedua cucunya yang sangat membutuhkan ramuan seribu bunga itu. Bisa saja Sang Prabu menggunakan kesaktiannya mengambil sisa ramuan yang ada ditangan Putri Giripertiwi. Atau bisa juga Sang Prabu berangkat sendiri ke Negeri Sawargi untuk meminta Pundi pada putrinya, tapi sepertinya Sang Prabu mempunyai cita-cita lain untuk kedua cucunya. Sang Prabu menghendaki kedua cucunya mempunyai pengalaman yang luas tentang alam dan menemukan kesaktian yang mantap. Disamping itu, agar kedua cucunya mampu menelusuri silsilah leluhurnya dan mampu merekatkan kembali perpecahan antara ayahnya dan bibinya.

Prabu Murdagiri memang memiliki kesaktian luar biasa. Ia mampu menembus mata batin untuk melihat sesuatu dari jarak jauh. Beliau tahu keberadaaan Pundi itu di Putri Giripertiwi, tapi untuk memastikan apakah isi Pundi itu masih ada ataukah sudah habis, terpaksa Beliau harus menggunakan kacamata batinnya.

Setelah Prabu Murdagiri mempunyai kepastian keberadaan isi Pundi itu, lantas berkata:
"Anak muda, Pundi yang kalian cari sebenarnya ada disuatu tempat yang sulit dijangkau, yaitu di Negeri Sawargi. Pintalah oleh kalian pada Ratu yang berkuasa di negeri itu yaitu Dewi Giripertiwi", kata Sang Prabu Murdagiri.

" Baginda Kakek, kami tidak tahu dimana letaknya Negeri Sawargi itu?", ungkap Sang Sangga.

Kemudian, Sang Prabu mengajak kedua pangeran mendekat ke telaga yang ada di dalam taman itu yang airnya sangat jernih.  Pada saat ditepian telaga, Prabu Murdagiri mengajak Sang Sangga dan Sang Giri untuk sejenak memejamkan mata. Waktu membukakan mata kembali, kedua pangeran melihat gambaran dalam air telaga yang jernih, yaitu bayangan sebuah Pundi sedang di pegang oleh putri yang sangat cantik. Terlihat juga suatu kerajaan yang sangat indah berada di puncak bukit batu dikelilingi tebing sangat curam dan tajam. Tidak ada satupun jalan kearah sana, selain dengan pendakian tebing yang sangat melelahkan.

Sang Prabu berkata, “Inilah negeri yang harus kalian datangi untuk menemukan Pundi tersebut. Keberadaan pundi ajaib itu di puncak gunung yang paling tinggi, yang bernama negeri Sawargi.”

“Kearah mana kami harus menuju Negeri Sawargi, baginda kakek?" tanya Sang Sangga penasaran.
“Terus ke arah Matahari terbenam. Jauh teramat jauh Negeri Sawargi itu. Terletak di puncak Bukit yang paling tinggi dan dikelilingi tebing sangat curam. Kalian harus mendaki tebing-tebing yang terjal itu. Perjalanannya harus menerobos rimba belantara dihuni banyak binatang buas, melinatasi jurang yang dalam, serta mengarungi sungai yang luas dan berarus deras.

“Kami tidak takut, Kakek. Bagaimanapun keadaannya, kami akan mencari Pundi ajaib itu untuk kesembuhan ayah hamba dan rakyat Negeri Girimaya", tegas Sang Sangga. 

“Baiklah kalau begitu", jawab Prabu Murdagiri sambil tersenyum bangga memperhatikan tekad kedua cucunya. "Ooh.... ini kakek membekali dua buah pedang pusaka leluhur kakek. Pedang ini bukan senjata untuk perang dan mempunyai pantangan kena darah lawan, karena tuahnya akan hilang. Jika ingin digunakan, cukup ditancapkan ke dalam bumi, maka ia akan mengeluarkan cahaya putih sangat terang, empat puluh kali lipat iluminasi Surya. Pedang ini aku berikan untuk Sang Giri, sedangkan pedang yang satu ini lagi aku berikan pada Sang Sangga, pedangnya bertuah mengeluarkan gemuruh suara yang memekakan pendengaran.

Pengembaraan di Negeri Sutawanara
 
Tanpa terasa, perjalanan waktu berlalu begitu cepat. Matahari telah tepat berada di atas kepala Sang Sangga dan Sang Giri. 

Mereka berdua telah jauh meninggalkan Taman Puspa Giri. Suara nyaring dalam perut telah berbunyi. Itu pertanda mereka sudah lapar. Kakak dan adik itu pun langsung menyantap bekal mereka dengan lahapnya.

Sehabis makan, mereka beristirat sejenak di bebatuan, sekadar untuk menyandarkan kepala pada dinding batu sambil meluruskan kaki. Dari pandangan jarak jauh, sang kakak melihat sungai yang airnya cukup jernih. Sang Sangga mengajak adiknya, Sang Giri, untuk mandi di sungai tersebut. Mereka akhirnya mandi di sungai itu. Tubuh kedua orang itu terasa segar terkena siraman air yang dingin, sejuk, dan jernih. 

Setelah beberapa lama berendam, Sang Sangga buru-buru naik kedaratan karena tidak kuat kedinginan, sementara Sang Giri masih asyik menikmati memainkan cipratan air.

Sang Sangga menghampiri kudanya. Kemudian, ia menaiki kuda tersebut, tetapi kudanya diam saja, tidak bergerak sedikit pun meski sudah didera berkali-kali. Sang Sangga merasa kesal, lalu kuda itu dipukulnya dengan sangat keras. Kuda itu pun mendadak terperanjat. Ia melompat dan kemudian berlari tak terkendali. Sang Sangga kesulitan mengendalikan kudanya. Kudanya menjadi liar dan beringas menerjang apa pun yang ada di hadapannya. Kuda Sang Sangga lari jauh tak tentu arah.

Sementara itu, Sang Giri tidak menyadari bahwa kakaknya telah pergi jauh meninggalkan dirinya. Ia berpikir bahwa kakaknya itu sedang berjalan-jalan di sekitar sungai. Dia menunggu kakaknya sambil menjemur bajunya yang basah dicuci. Namun, setelah lama menunggu, mulai timbul kecemasan dalam diri Sang Giri. Ia menunggu kakaknya yang tak kunjung datang. Kemudian, ia pun mulai mencari kakaknya di sekeliling wilayah itu, tapi tak ditemukan jua.   

Sang Giri mulai kesal dan marah karena kakaknya tidak juga ditemukan. Mata Sang Giri tampak memerah penuh amarah. Lalu, dia mengeluarkan senjata sakti yang diperoleh dari Prabu Murdagiri. Senjata itu mengeluarkan cahaya sehingga dapat menerangi angkasa yang hampir gelap. 

Cahaya yang dikeluarkan dari senjata Sang Giri telah menimbulkan rasa cemas pada penghuni hutan. Raja kera, Sang Sutara sebagai penguasa Kerajaan Sutawanara menjadi penasaran dengan cahaya yang dulu pernah ia kenal. Sang Sutara itu pun pergi mencari tahu apa yang telah terjadi. Begitu mengetahui bahwa sumber terang itu berasal dari senjata yang dimiliki Sang Giri, ia pun merasa takut. Sang Sutara langsung bersimpuh di hadapan Sang Giri. Raja Kera Sang Sutara merasa bahwa Sang Giri adalah sosok keturunan Maha Prabu Indragiri yang pernah bertahta di Kerajaan Giripurwa dan memiliki kesaktian luar biasa.

Sang Sutara berkata, “Wahai Keturunan Maha Prabu Indragiri, hamba tidak tahu kedatangan Paduka di tempat ini. Sejak saat ini, sudi kiranya paduka memimpin kami,  Hamba menyerahkan tahta kerajaan negeri Sutawanara kepada Paduka. Karena sejak dahulu juga kami mengabdi pada Baginda Maha Prabu Indragiri, ayahanda Prabu Murdagiri, yang sampai saat ini tak tahu dimana ngandeg pinanditanya. Apa pun yang akan Paduka perintahkan kepada hamba, akan hamba laksanakan dengan sepenuh hati. Aku Sang Sutara raja kera dari kerajaan Sutawanara, yang semula Maha Patih kerajaan Indragiri. Aku dan prajuritku dikutuk jadi kera oleh Maha Prabu Indragiri karena menyebarkan ajaran baru yang bertentangan dengan purbatisti keturunan Giri.

Sang Giri tercengang mendengar perkataan sang raja kera yang bersimpuh di hadapannya dan pandai berkata-kata layaknya manusia. 

"Wahai Sang Sutara Reja Kera, aku tidak bersedia memimpin kalian, karena aku bukan keturunan Mahaprabu Indragiri apalagi keturunan Prabu Murdagiri, sahut Sang Giri tegas.

" Oh...tidak Rajaku, kami yakin baginda keturunan Mahaprabu Indragiri, karena pedang pusaka yang ada ditangan baginda tidak akan bertuah jika digunakan orang lain. Pedang itu baru bereaksi jika mengalir darah keturunan Giri di jasad pemakainya", jawab Sang Sutara.

Sang Giru terdiam bingung serta Sang Sutara pun diam beberapa saat.
“Paduka,” kata raja kera itu melanjutkan perkataannya, “terimalah permintaan hambamu ini. Pimpinlah negeri kami. Jadilah Paduka Raja yang memerintahkan kami,” pinta raja kera memalas.

"Begini Sang Sutara, Aku mungkin tidak akan mampu menjadi Raja kalian, karena cara hidup kalian, budaya kalian dan keyakinan kalian berbeda dengan kami", Sang Giri meyakinkan.

"Tapi apa yang harus kami lakukan sebagai bakti kami kepada keturunan baginda Mahaprabu Indragiri?" desak Sang Sutara.

“Baiklah Sang Sutara, Engkau tetap menjadi Raja Sutawanara, jika Engkau mau berbakti, bantulah kami", jawab Sang Giri.

"Apa gerangan tugas kami Rajaku!" jawab Sang Sutara yang tetap memanggil Raja pada Sang Giri.

"Tolong carikan kakak ku Sang Sangga, yang mendadak hilang, dan tolong juga kami tunjukan jalan ke Negeri Sawargi", pinta Sang Giri.

"Timbalan Jungjunan kami, kami segera menjalankan tugas", jawab Sang Sutara seraya meloncat secepat kilat menghilang di kerimbunan.
 
Ketika Sang Giri nyaris dinobatkan sebagai raja kera, Sang Sangga justru terdampar di hutan-hutan belantara. Ia pun bingung, tak tahu harus melangkah ke mana. Hutan belantara demikian lebatnya, sejauh matanya memandang, ia hanya menemukan hijaunya dedaunan. Memandang ke bawah pun, ia hanya menemukan daun-daun yang kering berguguran. 

Sang Sangga merasa sedih bukan main. Dipandangi kuda yang menyebabkan ia tersesat. Kudanya itu kini tengah merumput di pinggir hutan. Seketika amarahnya pun hilang, memang salah dirinya memukul kuda terlalu keras dan menghentak. Timbul kembali perasaan sayang pada kudanya, mengingat telah bertahun-tahun kuda itu berjasa kepadanya. Teringat hal itu, dihampiri kudanya yang tengah merumput, lalu dibelai-belai punggungnya.

Ketakutan pun menyelimuti dirinya. Sekarang ia harus mengembara seorang diri untuk menemukan benda ajaib itu. Ia terkenang kepada kedua orang tuanya dan adiknya, Sang Giri.

“Ah, kenapa aku harus takut sendirian?” Tiba-tiba Sang Sangga bicara seorang diri, bukankah Prabu Murdagiri telah membekaliku dengan kesaktian dan sebilah pedang pusaka?, gumam beliau.
 
Semangat Sang Sangga kembali bangkit. Dihampiri kudanya, lalu ia naik ke atas punggung kuda dan memacunya kearah marahari terbenam.

Tak berapa lama kemudian, Sang Sangga mendengar suara gemuruh gaduh. Segerombolan kera datang melintas di hadapannya. Sang Sangga menjadi terkejut. Ia pun bertanya-tanya dalam hatinya dari manakah datangnya kera-kera ini. Tiba-tiba salah satu kera mengajak Sang Sangga berbicara.
“Hai Tuan! Siapakah gerangan?” tanya sang kera.
Kera itu membuat Sangga Giri terkejut sementara karena seekor kera dapat berbicara seperti manusia, tapi kemudian tenang kembali, karena selama pengembaraan ia menemukan banyak hewan yang bisa bicara.

“Aku adalah pengembara yang sedang tersesat,” jawab Sang Sangga.
Kera itu pun berkata kembali, “Dari mana Tuan berasal dan apa yang Tuan cari? Tidak sembarangan manusia mampu sampai ke tempat ini. Tuan pasti memiliki kesaktian,” tegasnya.

“Hamba datang dari negeri Girimaya. Tujuan hamba datang ke mari adalah mencari Pundi ajaib,” jawabnya.

Sang kera jadi teringat kembali kepada Sang Giri yang sudah mereka anggap rajanya. Rajanya juga memerintahkan untuk mencari benda ajaib itu. Lalu, sang kera menegaskan kembali. “Apakah Pundi yang dimaksud itu adalah pundi yang berisi ramuan ajaib?” 

“Iya, betul,” jawab Sang Sangga. “Mengapa engkau tahu tentang benda yang aku cari itu?” penasaran.
Lalu, sang kera menceritakan tentang Sang Giri yang dianggap raja barunya yang memerintahkan mereka untuk mencari jalan menuju Negeri Sawargi dan mencari kakaknya yang hilang.

Sang Sangga menjadi senang mendengar berita tersebut. Ia tahu yang dimaksud sang kera adalah adiknya sendiri. “Raja kalian itu adikku,” tutur Sang Sangga. “Kami terpisah selama ini karena kudaku membawaku pergi jauh, sehingga aku kehilangan jejak adikku.” 
“Bawa aku ke tempat rajamu!” pinta Sang Sangga.

“Baik Tuanku,” hamba laksanakan. Setelah tahu bahwa yang ditemui adalah kakak dari raja mereka, para kera pun memberi hormat kepada Sang Sangga.
 
Sang kera membawa Sang Sangga bertemu dengan Sang Giri. Sang Sangga tidak menyangka akan bertemu kakaknya kembali. Mereka berpelukan melepaskan rasa duka karena selama ini mereka terpisah. 

Lalu, beberapa kera memberi kabar tentang keberadaan benda ajaib yang mereka inginkan itu, berikut arah jalan menuju Negeri Sawargi.

“Tuanku, Baginda Raja Keturunan Indragiri, Hamba telah menyelidiki keberadaan benda ajaib itu. Benda itu ada di tangan putri yang sangat cantik, bernama Giripertiwi". 

Katanya Putri Cantik itu anak angkatnya Raja Giripersada, penguasa Kerajaan Bhumi Persada. Berita yang disampaikan Sang Sutara hampir sama dengan cerita dari Prabu Murdagiri, walaupun sebenarnya putri cantik Giripertiwi adalah putrinya Prabu Murdagiri sendiri yang dititipkan pada Prabu Giripersada yang tidak lain kakak kandung Prabu Murdagiri.

“Terima kasih, Sang Sutara,” kata Sang Giri, “kamu telah memberikan keterangan yang sangat berharga. Kami akan berusaha secepatnya mencapai tempat yang kamu tunjukkan itu.”

"Timbalan Baginda Keturunan Indragiri, sekiranya baginda membutuhkan lagi kami, tinggal memanggilnya dengan cara menghunuskan pedang pusaka keatas. Pasti kami segera datang", kata Sang Sutara yang seketika itu juga lenyap dari penglihatan.

Pengembaraan di Negeri Sawargi
 
Sang Sangga dan Sang Giri memacu kuda meninggalkan Kerajaan Sutawanara menuju puncak bukit Negeri Sawargi seperti yang ditunjukan raja kera Sang Sutara.

Mereka ingin segera menemukan Putri Giri Pertiwi agar bisa menemukan dan membawa pundi yang mereka cari.

Setelah mendaki lereng-lereng dan tebing-tebing yang terjal, juga melewati jalan berliku dan sempit serta penuh bebatuan, sampailah mereka di tempat tujuan. 

Di tempat itu, semuanya sangat indah. Gerbang istananya berlapiskan emas dan perak serta pintunya juga berwarna kuning keemasan dengan lukisan bergambar bunga khas Taman Puspa Giri milik Prabu Murdagiri. Pada saat itu Sang Sangga dan Sang Giri berfikir bahwa dari segi ornamen bangunan, Negeri Sawargi erat kaitannya dengan Taman Puspa Giri.
Namun, kemudian kedua pangeran itu tampak heran karena istana yang semegah itu terlihat sangat sepi dan tidak ada tanda-tanda kegiatan layaknya kesibukan istana, hanya ada bebera penjaga gerbang yang berdiri kaku dan membisu.

Tiba-tiba kupu-kupu bertebaran mengelilingi mereka berdua dan terdengar suara “Selamat datang!”. Sang Sangga dan Sang Giri tidak lagi terkejut dan aneh, karena telah beberapa kali menemukan hewan yang bisa bicara. Sekarang mereka terbiasa menghadapi hewan yang dapat berkata-kata itu.

“Terima kasih!” kata Sang Sangga pada kupu-kupu yang telah berlalu dari hadapannya. Tidak lama kemudian datanglah seorang putri yang sangat cantik seraya berkata: “Siapa kalian? Apa gerangan yang membuat kalian datang ke istana ini?” tanya tuan putri.

“Kami ingin bertemu dengan Putri Giripertiwi!” jawab Sang Giri, sementara kakaknya Sang Sangga hanya bengong terpukau memandangi kecantikan Sang Putri Giripertiwi bagai Gadis baru menginjak remaja.

“Akulah Putri Giripertiwi,” kata sang putri sambil tersenyum manis kepada mereka berdua. 

“Syukurlah, akhirnya kami bertemu dengan Tuan Putri,” jawab Sang Sangga dengan suara sedikit bergetar, panik.

Ketika kedua pangeran tampan tengah menjelaskan maksud kedatangannya, Sang Putri tak lepas dari tatapannya kearah kening mereka berdua.Siapakah mereka ini sebenarnya? pikir Sang Putri penuh keheranan.

Sang Sangga menjelaskan bahwa mereka berasal dari Negeri Girimaya. Pada saat ini di negaranya diserang wabah penyakit yang sangat mengerikan. Rakyat berjatuhan mati setiap hari. Ayahandanya bermimpi bahwa obat penyembuhnya adalah ramuan seribu bunga di dalam Pundi Kecil. Mereka bertemu dengan seorang kakek penguasa kerajaan Giripurwa, pemilik Taman Puspa Giri, beliau mengatakan bahwa Pundi yang mereka cari ada di tangan Putri Giripertiwi, ratu Negeri Sawargi. Begitu juga ketika bertemu dengan raja kera Sang Sutara, mengatakan hal yang sama.

Putri Giripertiwi terkejut mendengar penuturan mereka. Ia tahu bahwa ramuan cair yang ajaib itu ada pada dirinya. Namun, Putri Giripertiwi mencoba untuk menutupi keberadaan Pundi kecil tersebut. Ia tidak ingin pundi itu berada di tangan salah orang. Pundi yang berisi ramuan obat tersebut adalah titipan ayahnya Prabu Murdagiri. Ayahnya berpesan agar tidak menggunakan pundi tersebut apabila tidak sangat dibutuhkan.

“Aku tidak punya,” jawab tuan putri sedikit berbohong. “Mungkin bukan aku yang dimaksud Prabu Murdagiri atau sang kera itu. “Aku tidak pernah melihat benda yang kalian maksud,” lanjutnya.

Namun, Sang Sangga seperti tidak percaya sepenuhnya atas perkataan sang putri. Ia pun terus mendesak lagi tentang keberadaan Pundi tersebut. Namun, tetap tidak membuahkan hasil.

Di sisi lain, sang putri ingin mengetahui lebih jauh tentang karakter sebenarnya kedua pria itu, siapa tahu benar-benar membutuhkan pertolongan. Juga Sang Putri merasa penasaran tentang sinar yang memancar di kening mereka berdua. Anak siapakah mereka ini?

Oleh karena itu, Sang Putri menawarkan jasa, seolah-olah memberi bantuan untuk mencari Pundi ajaib itu, agar mereka dapat tinggal lama di istananya.

“Tuan-tuan yang bijaksana, kiranya saya dapat membantu untuk ikut menemukan benda yang kalian cari. Kalian dapat menginap di sini untuk mencari benda tersebut,” tutur sang putri.

“Baiklah, kami akan menginap beberapa hari di sini,” kata Sangga Giri, yang sejak awal menaruh hati pada Sang Putri.

Putri Giripertiwi menyediakan sebuah kamar yang tertata dengan rapi untuk kedua pangeran tersebut. Tiap sudut kamar itu dihiasi bunga yang aromanya menyejukkan hati. 

Sang Sangga makin hari makin terpesona oleh kecantikan Putri Giripertiwi. Tatapan matanya yang lembut amat menyejukkan perasaannya. Sang Sangga tidak tahan lagi menyimpan perasaan cintanya kepada Sang Putri yang cantik yang dalam penglihatannya bagai gadis baru mengijak dewasa. Sebaliknya, putri Giripertiwi makin hari makin mengetahui siapa sebenarnya kedua pemuda tampan ini. Namun ia harus bersikap halus untuk menghindari Cinta Sang Sangga, agar tidak menimbulkan kekecewaan yang dalam.

Sebenarnya, Sang Giri juga mempunyai perasaan yang sama kepada sang putri itu, namun semenjak diketahui sang kakak sangat mencintai Giripertiwi, ia pun mundur tertur. 

Sang Sangga dengan Putri Giripertiwi kelihatannya semakin dekat  dan akrab. Sebenarnya kedekatan mereka mempunyai dua perspektif yang berbeda. Sang Sangga menganggap kedekatan dengan Putri Giripertiwi bernuansa Cinta, sedangkan Sang Putri sekedar menjaga agar tidak terjadi kekecewaan hati yang dalam bagi Sang Sangga. Memang Putri Giripertiwi senantiasa menunjukan perhatian khusus kepada pemuda tampan itu, tapi sebenarnya sebagai wujud kasih sayang sang ibu terhadap anaknya.

Penalukkan Ki Hokaparna

Ayah angkat Putri Giripertiwi, Prabu Giripersada  mengetahui kedekatan anak angkatnya dengan Sang Sangga. Ada kecemasan di dalam diri ayahnya itu, terutama takut keterlanjuran terhanyut asmara terlarang, karena beliau mendapat berita dari adiknya yaitu dari Prabu Murdagiri bahwa kedua kesatria yang bermukim di Keraton Negeri Sawargi sebenarnya cucunya, anak Prabu Girilaksana yang sejak lama menghilang. Prabu Giripersada pun berpikir keras mencari jalan terbaik untuk memisahkan cinta mereka.

Selanjutnya Prabu Giripersada memanggil Sang Sangga untuk menghadap beliau di Keraton Bhumi Persada dan Sang Sangga pun memenuhi panggilan Raja.
“Sembah Hamba Paduka, semoga baginda senantiasa sehat dan panjang umur,” seru Sang Sangga setelah sampai di Kerajaan Bhumi Persada dan menghadap Sang Prabu.

"Apa gerangan yang membuat baginda memanggil hamba?” tanya Sang Sangga seterusnya.

“Aku memanggil engkau karena ada yang perlu aku tanyakan.” jawab Prabu Giripersada penuh wibawa.

“Apa itu Baginda?”, sahut Sang Sangga dengan tenang tapi tetap santun.

“Benarkah kau mencintai putriku?” tanya Prabu Giripersada berikutnya.

“Benar Baginda, hamba sangat mencintai Putri Giripertiwi,” dengan lantang Sang Sangga mengatakan itu. 

“Kau sunguh-sunguh mencintainya dan Tidak akan menyakitinya?”  periksa Prabu Giripersada.

“Iya baginda, hamba akan menyayanginya setulus hati dan tidak akan membuat hatinya bersedih.” jawaban tegas Sang Sangga.

“Kalau begitu, apa jaminan kesetiaanmu kepadaku,” seru Prabu Giripersada.

“Apa yang bisa hamba lakukan, Baginda?” Sang Sangga balik bertanya.

“Aku ingin Kau menumpas Gerombolan Pengacau pimpinan Ki Hokaparna yang telah menghasut rakyat Negeri Sawargi, menyebarkan berita bohong, mengujar kebencian dan mengadu-domba masyarakat. Malah aku dengar Ki Hokaparna telah mencaplok sebagian wilayah negeri sawargi sebagai basis Komando. Aku dengar pula Ki Hokaparna sebagai pimpinan yang arogan, ambisius, dan serakah. Ia kerap menyerap dana masyarakat bertabirkan sumbangan dan infak, padahal digunakan untuk pesta pora dan keuntungan pribadi. Oleh karena itulah, aku ingin memberi pelajaran terhadap pimpinan yang zalim itu.”

”Baiklah, Tuanku, akan hamba laksanakan. tukas Sang Sangga.

Lalu, Sang Sangga menceritakan hal ini kepada Sang Giri. Sang Sangga memohon kepada adiknya untuk membantunya melawan Ki Hokaparna, karena adiknya mempunyai pasukan kera yang banyak jumlahnya.

“Baiklah Kakanda, aku akan mengumpulkan seluruh pasukan kera untuk menyerbu Gerombolan Ki Hokaparna", sanggup Sang Giri.
 
Setelah saat itu, Sang Sangga dan Sang Giri mempersiapkan segala keperluan untuk menyerang Ki Hokaparna. 
 
Pasukan kera Sang Sutara telah menerobos jauh masuk ke dalam Basis Komando Ki Hokaparna. Sebagian pasukan Ki Hokaparna takluk ketakutan melihat segerombolan kera datang mendadak menyerang mereka. Saat penyerbuan itu terjadi, pasukan Ki Hokaparna tidak mengadakan persiapan sehingga Markas Komandonya mudah sekali dikuasai lawan. 

Saat itu, Ki Hokaparna sendiri sedang pesta pora dengan pengawalan ketat oleh pasukan khusus. Perang antara Sang Sangga dibantu Sang Giri melawan pasukan khusus Ki Hokaparna terus berkecamuk. Di pihak Ki Hokaparna, jumlah korban terus bertambah. Akhirnya, peperangan dimenangkan oleh Sang Sangga. Kemudian, Ki Hokaparna dan beberapa pengikutnya yang masih hidup ditahan oleh Sang Sangga untuk dihadapkan kepada Raja Giripersada.

Dihadapan Raja Giripersada,  Ki Hokaparna dan pasukannya bersumpah setia pada kerajaan Bhumi Persada serta berjanji tidak akan menghasut rakyat lagi. 

Sang Raja Giripersada memahami watak ambisius Ki Hokaparna yang selalu memimpikan kekuasaan raja, sehingga beliau memberikan nasihat kepada Ki Hokaparna bahwa jika ingin jadi pimpinan harus ada aturan dasar yang mengikat dirinya, sehingga dalam menjalankan kekuasaan tidak semena-mena. Ahirnya Raja Giripersada pun berbelas kasihan dengan memberikan suatu daerah di wilayah Timur Bhumi Persada menjadi kekuasaan Ki Hokaparna yang kemudian membentuk kerajaan yang terkenal dengan nama Kerajaan Sura Mandula.

Penemuan Pundi Ajaib

Ratu Giripertiwi beserta seluruh rakyat Negeri Sawargi larut dalam kebahagiaan karena gerombolan Ki Hokaparna dapat ditumpas. Sekarang Negeri Sawargi aman tentram, rakyatnya hidup rukun, tidak ditemukan lagi tawuran antar kelompok, tidak ada lagi saling curiga dan salah pengertian.

Dalam suasana kebahagiaan itu, tiba-tiba Prabu Giripersada didampingi Prabu Murdagiri mengumumkan adanya rencana pernikahan Putri Giripertiwi dengan Sang Sangga yang mampu menunaikan kesetiaan menciptakan perdamaian di Negeri Sawargi. Namun di luar dugaan Sang Putri Giripertiwi menolaknya.

"Ayahanda Prabu Giripersada, mohon ampun ananda bicara. Perkawinan adalah perjanjian pribadi antara hamba dengan Raden Sangga dan perjanjian ini belum pernah terjadi. Selanjutnya, mohon maaf Ayahanda, menurut hemat hamba, perjanjian pekawinan tidak ada kaitannya dengan perjanjian politik.Hamba tidak pernah mengadakan perjanjian politik dengan Raden Sangga Giri, oleh karena itu hamba tidak terikat untuk memenuhinya", demikian argumen yang disampaikan seorang ratu negeri sawargi hingga memukau seluruh hadirin.

"Ananda Giripertiwi, Cucunda Raden Sangga dan Raden Giri serta seluruh hadirin, bukanlah maksud Aku mengingkari perjanjian politik dengan Cucunda Raden Sangga, tapi untuk memenuhi janji tersebut melintang aral yang besar. Aral yang diciptakan alam yang tidak mungkin dihindari, aral yang layak disebut force majeur sehingga meniadakan perjanjian. Apa gerangan yang menjadikan aral, maka aku sebagai Raja Bhumi Persada memberikan mandat kepada Adinda Prabu Murdagiri untuk memberikan penjelaasan," sambut Raja Giripersada.

"Cucuku Raden Sangga, hendaklah engkau renungi bahwa Alam akan murka dan mengutuk seandainya ketentuan alam tidak kita penuhi. Alam sendiri menentukan kehidupan manusia dilarang mengadakan perkawinan seorang ibu dengan anaknya. Jika itu dipaksakan, maka hancurlah kehidupan manusia", ....uraian Prabu Murdagiri terpotong selaan Sang Sangga.

"Maaf Tuan-tuan serta para baginda, hamba memotong pembicaraan. Hamba mengerti dan paham terhadap semua uraian. Namun mohon dimengerti juga keadaan hamba, ibu hamba adalah Dewi Ratna Kirana dan sekarang ada di Kerajaan Girimaya. Hamba tidak bermaksud mengawini ibu hamba tapi hamba ingin mengawini Putri Giripertiwi yang baru hamba kenal, kilah Sang Sangga.

"Maaf Raden, bolehkah Aku bertanya"?, usul Dewi Giripertiwi.

" Oh, Silahkan Putri", jawab Raden Sangga.

"Siapakah Gerangan Nama ayahanda Raden?", tanya Dewi Giripertiwi singkat.

"Rama Prabu adalah Girilaksana, apakah cukup jelas Putri Cantik" jawab Raden Sangga bernada menggoda, namun tidak menyadari bahwa sebenarnya lawan bicaranya jauh lebih tua.

"Satu lagi Raden, apakah raden tahu siapa nama kakek raden"?, sang putri bertanya menjebak.

Sangga Giri menggelengkan kepala.

" Apakah mungkin ayahanda raden tidak ber ayah", desak sang putri.

"Tidak mungkin Tuan Putri", jawab Raden Sangga melemah.

"Raden Sangga, dengarkanlah Aku bicara", suara Prabu Murdagiri penuh wibawa, kemudian melanjutkan pembicaraannya. " Sebenarnya Aku mempunyai dua orang anak, seorang Putra dan seorang Putri. Yang sulung anak laki-laki bernama Girilaksana sedangkan adiknya perempuan bernama Dewi Giripertiwi. Ia adalah orang yang ada dihadapan raden"

"Jadi maksud baginda, Putri Giripertiwi ini Bibinda hamba?. Tidak masuk akal baginda, lihat saja raut mukanya, seperti Gadis baru menginjak remaja. Umurnya jauh dibawah hamba. Mungkin saja Girilaksana yang dimaksud baginda adalah orang lain, bukan ayahanda hamba", Raden Sangga kelihatan agak kecewa karena cintanya nyaris gagal.

"Raden, sebenarnya seluruh leluhur dan keturunan kami mempunyai tanda tertentu. Kami tahu raden berdua keturunan kami, karena tanda di kening raden memancarkan sinar" kata Prabu Murdagiri.

"Omong kosong, baginda. Saat ini hamba tidak melihat apa-apa di kening tuan-tuan", sahut Sang Sangga ngotot.

"Mungkin saat ini pandangan raden masih gelap karena ilmu nya belum sampai. Raden berdua baru dapat mendengar bahasa binatang, belum bisa melihat hal yang tersebunyi", Prabu Murdagiri menuturkan secara rinci.

Raden Giri yang lebih dulu menyadari betul-betul ada kaitan keturunan, segera melompat dan bersimpuh kepada kakeknya dan bibinya, sedangkan Raden Sangga tetap duduk merunduk murung penuh kekecewaan. Badannya menggigil menahan hasrat tak kesampaian. Ia sangat menyesal harus berjumpa dengan Sang Putri yang terlanjur ia cintai. Disertai cucuran air mata ia berkata kepada Dewi Giripertiwi:

"Tuan Putri, hamba berpikir jangan-jangan tuan putri hanya mencari-cari alasan untuk mengingkari janji yang dinyatakan rama Prabu Giripersada", seru Sang Sangga kecewa.

Melihat gelagat Raden Sangga cenderung putus asa, Putri Giripertiwi segera mengampiri Raden Sangga, memeluk erat-erat sambil membelai rambutnya penuh kasih sayang. Kasih sayang dari seorang Ibu kepada anaknya, seraya berkata lemah lembut: "Raden...., Bibi mohon raden tidak terpedaya karena melihat fisik. Penglihatan raden kepada kecantikan Bibi adalah suatu patamorgana yang menipu, sebenarnya bibi ini berumur tua dengan kulit keriput. Bibi mempunyai paras muda seperti sekarang, karena pernah meminum air ramuan seribu bunga yang sebelumnya diperebutkan dengan ayahmu. Pertarungan  bibi dengan ayahmu berlarut-larut tiada berkesudahan karena sama kuatnya dan sama saktinya. Ahirnya kakekmu melerai dan memarahi ayahmu hingga ayahmu pergi sampai saat ini tidak pulang. Keadaan seperti saat itu digunakan kesempatan oleh bibi untuk meneguk air dari pundi nyaris habis. Air bunga yang tersisa dalam pundi sekarang mungkin tinggal puluhan tetes. Jika raden menuduh bibi melakukan akal-akalan, bisa saja bibi memberikan bukti kepada raden dengan cara meminum ramuan kedua kalinya, sebab dengan minum ramuan yang kedua akan mengembalikan wajah bibi jauh lebih tua. Tapi bibi kemudian berpikir, raden bersusah payah datang ke Nageri Sawargi melewati perjalanan yang sangat jauh karena ingin mendapatkan pundi ini bukan untuk mendapatkan wanita. Jika raden bersikukuh meminta bukti kepada bibi, bibi akan meneguk sisa ramuan dari Pundi ini. Bibi pun kembali menjadi wanita tua berkulit keriput dan peot, sementara Ayahmu dan seluruh rakyat Girimaya mati tidak terobati karena ramuan nya hanya digunakan percumah untuk memenuhi nafsu raden", dengan penuh rasa sayang Dewi Giripertiwi menasehati keponakanya.

Sang Sangga terperanjat mendengar nasihat Putri Giripertiwi bibinya. Ia jadi teringat pada ayahanda di Negeri Girimaya sedang sakit. Segera dia bersujud dibawah kaki bibinya, seraya memohon:
"Ampuni hamba bibinda, hamba telah lancang kepada bibi. Hamba telah mengedepankan nafsu mencintai bibi dan melupakan tugas pokok menyelamatkan jiwa ayahanda dan rakyat Girimaya", lirih Sang Sangga penuh penyesalan.

"Sudahlah raden, kakek bangga kepada sikap kesatria raden, kakek memahami perasaan raden", sambung Prabu Murdagiri sambil saling berpandangan mata dengan Sang Kakak.

" Kamu, memang sutadara ulung adiku" sahut Prabu Giripersada kepada Prabu Murdagiri sambil melempar senyum.

"Raden, Maafkan Bibi, sebenarnya bisa saja Pundi ini diberikan kepada kalian diawal pertemuan, tapi bibi dan kakek Prabu ingin menguji dulu ketangguhan dan kesungguhan kalian dalam  memperjuangkan Pundi ajaib. Ternyata benar, raden berdua orang yang tepat menerima Pundi ajaib ini", ucap Dewi Giripertiwi sambil menyerahkan pundi kecil seraya mencium kening kedua Pangeran tampan.

Setelah kening kedua pangeran dicium Putri Giripertiwi, tiba-tiba pandangan Raden Sangga dan Raden Giri bisa melihat gemerlap sinar di kening bibinya, di kening Kakeknya Prabu Murdagiri dan Prabu Giripersada, malah mereka berdua juga melihat cahaya terang di kening Prabu Sutara dan Prabu Hokaparna, sehingga mereka bertanya kepada Sang Kakek Murdagiri.
" Oo.. cucuku, sebenarnya Prabu Sutara itu juga masih adik sampeyan putra bibimu dari Patih Banda Asmara", jawab Prabu Murdagiri.

"Bukankah bibinda ini belum menikah?", tanya Raden Sangga kepada Kakeknya.

"Ceritanya panjang raden, singkatnya Patih Banda Asmara tergoda oleh kecantikan bibimu. Ia memaksa bibimu memenuhi nafsunya, hingga ahirnya melahirkan seorang bayi. Maha Prabu Indragiri, buyutnya raden berdua sangat marah menerima keaiban tersebut, sehingga mengutuk Sang Patih dan keturunannya menjadi kera. Sejak saat itu Sang Patih dan Bayinya menjadi kera. Sedangkan bibimu tidak mempan kutukan karena telah meminum ramuan keabadian. Sang Patih dan Sang Sutara, anaknya, dibuang ke hutan Giripurwa, kemudian mendirikan Kerajaan Sutawanara.Bibimu sendiri dibuang ke puncak bukit yang sulit dijangkau orang yaitu Negeri Sawargi", demikian penuturan Prabu Murdagiri seraya memperhatikan raut muka Dewi Giripertiwi yang tetap merunduk sambil bercucuran air mata.

" Apakah adinda Sang Sutara selamanya menjadi kera?, tanya Sang Sangga.

"Tidak Raden, mereka diperintahkan untuk berbakti kepada keturunan Prabu Indragiri pemegang dua pedang pusaka. Salah satunya pedang Guruhsakti yang ada ditangan raden" jawab Kakek Prabu Murdagiri.

"Pedang yang ini kakek?" jawab Raden Sangga sambil menghunuskan pedang.

"Betul raden, tapi sebaiknya pedang itu jangan ditancapkan ditanah sekarang, Kakek belum selesai bicara", seru Prabu Murdagiri.

" Baik kakek, tapi siapakah sebenarnya Ki Hokaparna?, tanya Raden Giri.

"Ia adalah Uwak raden berdua sendiri, putra kakek Prabu Giripersada. Ia diperintahkan menyebarkan virus di Negeri Girimaya untuk menguji ayah kalian, Girilaksana. Sekaligus mengundang ayahmu agar datang menemui leluhurnya, setelah lama ia tinggalkan. Sebenarnya yang datang kedalam mimpi ayah kalian adalah kakek sendiri".

" Kakek, bagaimana keadaan sekarang penyakit ayahanda dan rakyat Girimaya? Bukankah pundi ajaib ini masih ditangan hamba?", Raden Giri cemas.

"Tenang raden, sejak raden mampu mengalahkan Sang Hokaparna, dengan sendirinya pandemi di Negeri Girimaya pun hilang. Ayah raden dan rakyatnya sembuh dan sekarang sehat. Ramuan yang ada dalam pundi kecil yang di bawa oleh raden fungsinya untuk kekebalan, mungkin dinegara raden disebutnya vaksin. Jika raden sudah sampai di Girimaya, setiap Mata Air agar ditetesi ramuan secara merata"

"Kakek", seru Raden Sangga pelan.

"Apa lagi cucuku"? Jawab Prabu Murdagiri senyum kecil.

"Bisakah sekarang hamba menolong Adinda Sutara"?, sahut Raden Sangga.

"Bisa raden, tapi harus diingat, pedang pusaka itu hanya bisa digunakan dua kali. Dan kedua pedang itu sebagai kunci jalan pulang ke negeri Girimaya. Tanpa kedua pedang, raden tidak akan bisa pulang. Raden Giri hanya mempunyai satu kesempatan lagi karena sudah menggunakannya waktu mencari Raden Sangga, Jika Raden Sangga menggunakan kesempatan pertama untuk menolong Raden Sutara maka yang terahirnya adalah kunci pulang", Prabu Murdagiri menjelaskan.

Dorongan Raden Sangga untuk menolong Raden Sutara adik misannya sangat kuat sekali, oleh karena itu tanpa ragu-ragu ia menancapkan pedangnya ke tanah. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar sangat keras, hingga setiap orang harus menutup telinga. Setelah gelombang suara kuat berhenti, semua gerombolan kera berubah jadi manusia, termasuk Raden Sutara sudah berubah wujud jadi seorang kesatria yang gagah walaupun tidak setampan Raden Sangga dan Raden Giri.
Raden Sutara segera bersimpuh kepada Putri Giripertiwi, ibunya yang sudah mengandung dirinya, kemudian bersimpuh kepada dua orang kakeknya, Prabu Murdagiri dan Prabu Giripersada. Terahir menghampiri Raden Sangga dan Raden Giri. Mereka bertiga saling berpelukan.

Prabu Murdagiri didampingi Prabu Giripersada tersenyum bahagia. Keturunan Giri ahirnya menemukan silsilahnya.
"Kakang, sepertinya kita sudah waktunya pulang", bisik Prabu Murdagiri kepada Prabu Giripersada, sambil melambaikan tangan menyuruh Putri Giripertiwi dan Raden Hokaparna mendekati dirinya.

Setelah semua berkumpul, kemudian Prabu Murdagiri mengibaskan jubah kebesarannya.Tiba-tiba semua menjadi hilang, lenyap dari pandangan. Semua orang yang mewarnai Cerita Pengembaraan Sang Sangga dan  Sang Giri terhapus dari Imajinasi. Tidak ada Murdagiri. Tidak ada Giripersada. Tidak ada Giripertiwi.Tidak ada Sutara. Tidak ada Hokaparna. Semua hilang dari cerita. Malah keadaan alam pun berubah. Tidak ditemukan lagi Keangkeran Kerajaan Bhumi Persada. Tidak ditemukan lagi Kemegahan Negeri Sawargi.Tidak ditemukan lagi bisingnya Kerajaan Sura Mandula dan Sura Wanara. Tidak ditemukan lagi keindahan Taman Puspagiri. Tidak ditemukan lagi misteri Kerajaan Giripurwa.Yang tersisa tinggalah kedua Sinatria dari Girimaya, Raden Sangga dan Raden Giri yang tersesat di tengah hutan belantara, tidak mengetahui kemana jalan pulang.

Raden Sangga teringat kepada pesan kakeknya bahwa kunci jalan pulang ada dikedua pedang mereka, ditangannya dan ditangan adiknya. Tapi pedang mana yang harus lebih dulu digunakan, mereka pun tidak mengetahuinya. Yang mereka ketahui bahwa masing-masing pedang hanya ada peluang satu kali penggunaan. Jika mereka salah memilih pedang untuk digunakan lebih dulu, akibatnya mereka tersesat selamanya.

"Adiku, bisakah engkau memecahkan teka-teki baginda kakek Murdagiri, pedang mana yang seharusnya lebih dulu digunakan?", tanya Raden Sangga kepada adiknya.

" Maaf Kakanda, apakah kelebihan hamba dari seorang kakak?, Hamba hanya sekedar seorang adik yang umurnya dibawah kanda. Hamba tidak berani mendahului kanda", jawab Raden Giri.

"Baiklah adiku, kalau jalan pikiran engkau demikian, Aku paham teka-teki yang diberikan kakek, sebelum bilangan dua adalah satu, dan engkau adalah anak kedua sedangkan aku anak pertama. Jadi akulah yang harus lebih dulu menggunakan pedang", jawab Raden Sangga.

Kemudian, Raden Sangga menghunuskan pedangnya dan ditancapkan kedalam tanah. Seketika itu juga terdengar suara menggelegar sangat keras, disusul awan hitam pekat menyelimuti seluruh langit. Keadaam alam menjadi amat gelap. Raden Sangga dan Raden Giri tidak dapat melihat sama sekali segala sesuatu yang ada diseklilingnya.

" Kakanda, engkau ada dimana.Aku tidak dapat melihat kanda, kata Raden Giri.

"Aku ada disampingmu dinda. Sama aku juga tidak melihatmu. Cepat gunakan pedangmu, bukankah dapat mengeluarkan sinar", jawab Raden Sangga.

Raden Giri serentak menghunus pedang dan menancapkannya kedalam tanah tanah. Tiba-tiba keluar sinar putih sangat menyilaukan melesat keatas langit dan menjadi teranglah sekeliling alam.

Namun ada hal yang mengagetkan Raden Sangga dan Raden Giri, yang sekarang terlihat adalah Ayahanda Prabu Girilaksana dan ibunda Ratna Kirana, tengah menangisi mereka yang terbaring lemah diatas tempat tidur.

"Syukur anakku sudah siuman, engkau telah dua hari pingsan, setelah mendengar pidato ayahmu di paseban", isak Sang Ibu?

Raden Sangga dan Raden Giri saling berpandangan karena merasa aneh waktu pengembaraan mereka yang dirasakan lebih satu taun, ternyata hanya dua hari saja.

" Adiku, apakah pengembaraan kita itu sekedar mimpi?", bisik Raden Sangga kepada adiknya.

" Tidak mungkin kanda, sebab ini aku membawa PundivAjaib dari Negeri Sawargi", kilah Raden Giri, seraya menyerahkan Pundi ajaib kepada Ayahanda Prabu Girilaksana.

Ayahnya hanya tersenyum, sebab Beliau Tahu apa-apa yang belum mereka ketahui. "Anaku, sebenarnya engkau telah mengadakan pengembaraan imajinasi, untuk mengetahui siapa leluhur engkau sebenarnya", Prabu Girilaksana bertutur.

Dan engkau telah berhasil mencegah wabah yang menimpa Negeri Girimaya.

TAMAT.

# kidamargiripustaka.blogspot.com
# pengembaraansanggagiri.blogspot.com

Komentar